rosalia: Konteks Sosiologi

Selasa, 05 Februari 2013

Konteks Sosiologi

Perubahan-perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat itulah yang kemudian di Indonesia memunculkan kesadararan baru tentang pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Pemahaman itu memberikan garis tuntunan (guideline) bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja (selfish) sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya. CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat tempatan. Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas.

Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam pandangan CSR adalah pengedepanan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik , denganpaling sedikit merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar seseorang atau

suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.


Karena itu, CSR dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya. Tanggungjawab perusahaan mencakup empat jenjang yang merupakan satu kesatuan, yaitu; ekonomis, hukum, etis, dan filantropis. Tanggung jawab ekonomis berarti perusahaan perlu menghasilkan laba sebagai fondasi untuk dapat berkembang dan mempertahankan eksistensinya. Namun dalam tujuan mencari laba, sebuah perusahaan juga harus bertanggungjawab secara hukum dengan mentaati ketentuan hukum yang berlaku. Secara etis perusahaan juga bertanggungjawab untuk mempraktekkan hal-hal yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai, etika, dan norma -norma kemasyarakatan. Tanggungjawab filantropis berarti perusahaan harus memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat sejalan dengan operasi bisnisnya. Melaksanakan CSR secara konsisten dalam jangka panjang akan menumbuhkan rasa keberterimaan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti itulah yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan. Dengan pemahaman seperti itu, dapat dikatakan bahwa, CSR adalah prasyarat perusahaan untuk bisa meraih legitimasi sosiologiskultural yang kuat dari masyarakatnya.


Perlu disyukuri bahwa kecenderungan terakhir ini di Indonesia banyak perusahaan swasta yang telah menjalankan prinsip-prinsip CSR. Dalam tataran praktis, CSR seringkali diinterpretasikan sebagai pengkaitan antara pengambilan keputusan dengan nilai-nilai etika, pemenuhan kaidah-kaidah hukum serta menghargai martabat manusia, masyarakat dan lingkungan. Kini diakui telah banyak korporasi yang mulai sadar akan pentingnya menjalankan CSR, meskipun masih banyak juga yang belum menjalankannya dengan benar. Dari segi besaran uangnya , banyak perusahaan yang sudah memberikannya dalam jumlah yang cukup besar, ada yang sedang tapi juga ada yang hanya sekedarnya saja. Dari sisi cara penyampaian dan peruntukannya, banyak perusahaan yang yang sudah well-planned dan bahkan sangat integrated sedemikian rupa sehingga sangat sistematis dan methodologis. Tetapi juga masih banyak perusahaan yang pengeluaran dana CSR nya berbasis kepada proposal yang diajukan masyarakat. Karena itu, perlu suatu peraturan pemerintah yang mengatur konsep dan jenis CSR dalam rangka law enforcement, dan kesejahteraan masyarakat lokal. Perusahaanperusahaan perlu diyakinkan, bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan CSR dengan meningkatnya appresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan bersangkutan. Karena itu, penerapan CSR tidak seharusnya dianggap sebagai cost semata-mata, melainkan juga sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan.


Maka sungguh diberharapkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), dapat memprakarsai adanya peraturan yang baik, yang memungkinkan dijalankannya law enforcement bagi implementasi CSR di Indonesia. Peraturan yang baik berarti peraturan yang memenuhi nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Bukan saja masyarakat sekitar lokasi perusahaan, melainkan juga masyarakat dunia usaha itu sendiri. Selama ini, CSR di lingkungan perusahaan swasta masih bersifat sukarela

(voluntary), dan karena itu wajar jika penerapannya masih bebas tafsir berdasarkan kepentingan korporasi masin g-masing. Di sinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya dorong. CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi CSR yang lebih bersifat mandatory. Dengan demikian, dapat diharapkan kontribusi dunia usaha yang terukur dan sistematis dalam ikut meningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang pro-masyarakat dan lingkungan seperti ini sangat

dibutuhkan ditengah arus neo-liberalisme seperti sekarang ini. Sebaliknya disisi lain, masyarakat juga tidak bisa seenaknya melakukan tuntutan kepada perusahaan, apabila harapannya itu berada diluar batas aturan yang berlaku. Tanpa menyebut nama sebuah perusahaan serta lokasinya, saya mengetahui bahwa perusahaan tersebut sesunguhnya sudah cukup banyak mengeluarkan dana CSR, akan tetapi tuntutan masyarakat tetap saja tinggi dan berada diluar batas proporsinya. Dengan adanya aturan hukum, maka perbedaan kepentingan antara para pihak baik perusahaan dan masyarakat dapat dijembatani secara elegan. Hukum berfungsi sebagai panduan untuk menentukan sikap dan tingkah laku sesuai dengan posisi dan perannya masing-masing. Jika kemitraan ini terjalin baik, dapat dipastikan bahwa korporasi dan masyarakat dapat berhubungan

secara co-eksistensial, simbiosis-mutualistik dan kekeluargaan. Meski demikian, perlu berhati-hati agar intervensi dan regulasi pemerintah terhadap dunia usaha ini, khususnya terhadap aktualisasi CSR tidak terjebak pada birokratisasi yang melelahkan dan berbiaya tinggi. Regulasi yang berlebihan justru menimbulkan counter-productive terhadap proses demokratisasi yang tengah terjadi di Indonesia saat ini. Regulasi dalam konteks ini diperlukan agar semua komponen berjalan atas dasar rule of law, patuh atas aturan main yang jelas, sehingga parameternya pun menjadi jelas.


CSR adalah konsep moral dan etis yang berciri umum , oleh karena itu pada tataran praktisnya harus dialirkan ke dalam program-program kongkrit. Salah satu bentuk aktualisasi CSR adalah Pengembangan Masyarakat atau Community Development (CD). Program-program Community Development (CD), dapat dilakukan perusahaan-perusahaan atas dasar sikap dan pandangan yang umumnya telah ada (inheren) dalam dirinya, yaitu sikap dan pandangan filantropis (kedermaan). Perusahaan umumnya memiliki sikap tersebut yang didasarkan atas dua motif sekaligus, yakni altruisme dan self interest. Sayangnya, pendekatan altruisme (sifat mementingkan kepentingan orang lain) belum menjadi mainstream oleh sebagian besar perusahaan. Sebagian besar pengambil keputusan perusahaan memandang filantropi perusahaan sebagai pencerahan atas kepentingan pribadi (self interest). Self interest merupakan aspek yang tidak dapat dihindari dalam praktek kedermawanan sosial perusahaan. Motif perusahaan dalam menyumbang seringkali tidak sepenuhnya didasarkan atas panggilan tanggung jawab moral, melainkan dala m bentuk pemberian dengan motif; charity (amal atau derma), imagebuilding (promosi), tax-facility (fasilitas pajak) security-prosperity (keamananan dan peningkatan kesejahteraan), atau bahkan - maaf- money laundering.


Disamping hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, selama ini, sebagian besar donasi perusahaan dalam konteks CSR masih merupakan hibah sosial, dan masih sedikit yang berupa hibah pembangunan. Hibah sosial adalah “bantuan kepada suatu organisasi nirlaba untuk kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan atau kegiatan lain untuk kemaslahatan masyarakat dengan hak pengelolaan sepenuhnya pada penerima, sementara hibah pembangunan merupakan bantuan selektif kepada suatu kegiatan pengembangan masyarakat (CD). Oleh karena itu, diperlukan transformasi bagi orientasi filantropik perusahaan, dari hibah sosial ke hibah pembangunan, karena hibah sosial umumnya adalah hibah yang diperuntukkan untuk keperluan sesaat dan bersifat konsumtif. Perlu didorong kegiatan kedermawanan dari yang bersifat sedekah, kearah yang bersifat pengembangan atau pemberdayaan, sehingga sustainabilitynya lebih terpelihara. Kegiatan CD untuk lingkungan industri pada dasarnya dapat dipergunakan sebagai media peningkatan komitmen masyarakat untuk dapat hidup berdampingan secara simbiotik dengan entitas bisnis (perusahaan) beserta operasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar